Jika para perokok menganggap rokok adalah hak azasi, maka harus dipastikan bahwa hak orang lain untuk menghirup udara segar tidak terusik. Indonesia dianggap kurang tegas melindungi hak atas udara segar dan lebih sayang pada rokok.
Di berbagai forum internasional yang membahas bahaya rokok dan tembakau, Indonesia sering dikucilkan karena tidak menyepakati Framework Convention on Tobacco Control (FTCT) atau kesepakatan internasional tentang pengendalian tembakau. Lebih menyakitkan lagi, satu-satunya negara ASEAN yang tidak meratifikasi FCTC ini juga sering disindir.
Seperti yang terjadi dalam 15th World Conference on Tobacco or Health (WCTOH) di Singapura pekan lalu, sindiran datang dari Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan. Meski tidak terang-terangan menyebut Indonesia, namun sindiran itu disambut tawa riuh ribuan peserta konferensi.
“Seluruh negara ASEAN saya kira sudah sepakat soal pengendalian tembakau, kecuali.. Ah, saya tidak mau sebut namanya,” kata Surin yang sehari-hari berkantor di sekretariat ASEAN di Jakarta.
Sebenarnya apa dosa Indonesia dengan tidak meratifikasi FCTC, sampai harus di-bully di setiap pertemuan internasional tentang tembakau?
Berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan, rokok bertanggung jawab terhadap bermacam-macam kanker dan penyakit kronis seperti diabetes dan gangguan jantung. Dampak yang paling banyak ditemukan adalah gangguan pernapasan, mulai dari infeksi tuberculosis (TB) hingga kanker paru-paru.
Sebuah buku berjudul The Tobacco Atlas 4th Edition yang baru saja dirilis mengungkap, korban tewas akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok telah mencapai 100 juta orang sepanjang abad ke-20. Diperkirakan pada abad ke-21, angkanya akan melonjak hingga 1 miliar orang.
Bukan hanya para perokok dewasa yang menjadi korban, anak-anak yang belum mengenal rokok juga ikut merasakan dampaknya sebagai perokok pasif atau second hand smoker. Dari seluruh populasi anak-anak di seluruh dunia, diperkirakan 40 persen ikut menghirup asap rokok.
Menurut buku yang disusun oleh Michael Eriksen, Judith Mackay dan Hana Ross tersebut, kondisi di Indonesia termasuk buruk. Persentase anak-anak yang terpapar asap rokok mencapai 64,7 persen, bahkan media asing beberapa kali memberitakan anak Indonesia kecanduan rokok seperti yang terjadi di Sukabumi belum lama ini tentang seorang bocah bernama Adi Ilham yang berumur 8 tahun tapi sudah merokok.
Kondisinya juga tidak lebih baik ketika dilihat jumlah rokok yang dikonsumsi. Jika konsumsi rokok di seluruh dunia mencapai 6 juta batang rokok tiap tahun, satu keluarga di Indonesia bisa menghabiskan rata-rata 1.058 batang rokok setiap tahun.
Soal harga, rokok di Indonesia termasuk paling murah dengan rata-rata US$ 1,4 atau sekitar Rp 12.000 tiap bungkus dan itupun masih bisa dibeli secara eceran. The Tobacco Atlas menyebut, orang Indonesia hanya perlu bekerja selama 4 menit untuk mendapatkan 1 batang rokok.
Padahal di banyak negara, rokok dikenai pajak yang lumayan tinggi sehingga harganya tidak terjangkau oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah. Di Mesir misalnya, merokok pakai shisha kena pajak 100 persen dan rokok biasa dikenai pajak sebesar 75 persen.
Belum lagi masalah pencantuman peringatan bergambar. Alih-alih memenuhi rekomendasi 15th WCTOH yakni seluas 75 persen dari kemasan rokok, pemerintah baru bisa mewajibkan pencantuman peringatan tertulis yang kadang-kadang tidak tertangkap maksudnya oleh anak-anak dan kelompok buta huruf.
Menurut Bloomberg Philantropies, saat ini tercatat sudah ada 174 negara yang menyepakati FCTC untuk melindungi hak yang lebih azasi daripada merokok, yakni untuk menghirup udara segar. Sesuai rekomendasi 15th WCOTH, diharapkan pada tahun 2015 semua negara sudah meratifikasi FCTC.
0 komentar:
Post a Comment